- Homepage
- EKONOMI DAN BISNIS
- Program MBG Dapat Jadi Motor Ekonomi Daerah, jika Terintegrasi dengan Produksi Lokal
Program MBG Dapat Jadi Motor Ekonomi Daerah, jika Terintegrasi dengan Produksi Lokal
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) dinilai perlu ditempatkan sebagai instrumen strategis untuk memperkuat ekonomi daerah sekaligus ketahanan pangan nasional. Ini menjadikan program MBG tidak cukup dipahami semata sebagai kebijakan sosial pemenuhan gizi anak.
Tanpa integrasi yang kuat dengan produksi pangan lokal, program bernilai puluhan triliun rupiah tersebut berisiko kehilangan dampak pengganda (multiplier effect) bagi perekonomian domestik.
Pandangan tersebut disampaikan Guru Besar Ekonomi Makro Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Prof. Dr. Imamudin Yuliadi, M.Si., dalam Diskusi Panel Outlook Ekonomi Indonesia 2026 yang digelar secara daring, Selasa (30/12).
Menurut Imamudin, skala program MBG sangat besar dan memiliki implikasi ekonomi yang signifikan. Hingga akhir 2025, jumlah penerima manfaat MBG diperkirakan mencapai sekitar 17,9 juta anak dengan kebutuhan anggaran sekitar Rp51,5 triliun. Angka tersebut seharusnya menjadi kekuatan besar untuk menggerakkan perekonomian daerah apabila bahan pangan yang digunakan berasal dari produksi dalam negeri.
“Dana sebesar itu bisa menjadi motor penggerak ekonomi daerah dari hulu hingga hilir. Namun, jika bahan pangan untuk MBG justru dipenuhi dari impor, maka dampak penggandanya akan hilang. Yang menikmati manfaat justru produsen luar negeri,” ujar Imamudin.
Ia menilai ketergantungan Indonesia terhadap impor pangan masih menjadi persoalan mendasar yang berpotensi bertentangan dengan semangat MBG sebagai program strategis nasional. Oleh karena itu, desain kebijakan MBG harus dikaitkan secara langsung dengan penguatan sentra produksi pangan lokal di berbagai daerah.
“MBG tidak boleh berdiri sendiri. Program ini harus menjadi pemicu penguatan ekonomi lokal. Anak-anak memang harus mendapatkan asupan gizi yang baik, tetapi pada saat yang sama petani dan pelaku usaha pangan di daerah juga harus memperoleh manfaat ekonomi,” jelasnya.
Lebih lanjut, Imamudin menyoroti tantangan ketahanan pangan Indonesia yang bersifat multidimensi, mulai dari pertumbuhan penduduk, perubahan iklim, hingga degradasi lingkungan. Dengan demikian, keberlanjutan program MBG perlu berpijak pada tiga pilar utama, yakni ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Dalam perspektif makroekonomi, MBG diposisikan sebagai bagian dari komponen konsumsi dalam struktur Produk Domestik Bruto (PDB). Jika konsumsi tersebut sepenuhnya berbasis produk lokal, maka pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan tidak hanya lebih tinggi, tetapi juga lebih merata dan berkualitas.
“MBG berpotensi mendorong pertumbuhan ekonomi sekaligus pemerataan kesejahteraan, asalkan bahan pangannya diproduksi oleh daerah sendiri. Inilah kunci untuk memperkuat ketahanan pangan nasional secara berkelanjutan,” tegasnya.
Ia juga mengingatkan pentingnya pengawasan ketat dalam implementasi MBG, mulai dari proses pengadaan bahan pangan hingga pengelolaan anggaran, dengan melibatkan unsur masyarakat. Langkah tersebut dinilai penting untuk menjaga kualitas program sekaligus mencegah potensi penyimpangan.
















