Pengusaha Minta Kebijakan DMO Sawit Dicabut, Karena Hanya akan Menimbulkan Kerugian
Presiden Direktur PT Sari Agrotama Persada Thomas Muksim mengatakan, kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO) menyulitkan pelaku usaha dan menimbulkan risiko ketidakpastian dan inefisiensi perdagangan. Hal ini karena kendali untuk mengontrol distribusi itu bukan berada di pelaku usaha.
“Itu menyulitkan, karena kendali untuk mengontrol distribusi itu bukan ada di kami. Makanya, saya usulkan agar dikembalikan ke peraturan seperti sebelumnya. Tetapi, usulan tersebut tidak pernah dijalankan oleh Kementerian Perdagangan,” kata Thomas dikutip Jumat (11/11/2022).
Thomas mengatakan, pernah mengikuti rapat daring yang juga dihadiri oleh Dirjen Perdagangan Luar Negeri Indrasari Wisnu Wardhana dan Lin Che Wei. Dalam kesempatan tersebut, Thomas mengaku mengusulkan agar Permendag No. 8/2022 yang mewajibkan DMO sebesar 20 persen sebagai syarat persetujuan ekspor CPO dikembalikan ke peraturan sebelumnya, Permendag No. 2/2022.
Alasannya, ketentuan dalam Permendag yang mewajibkan DMO sangat menyulitkan bagi pelaku usaha, khususnya produsen dan eksportir.
“Itu menyulitkan, karena kendali untuk mengontrol distribusi itu bukan ada di kami. Makanya, saya usulkan agar dikembalikan ke peraturan seperti sebelumnya. Tetapi, usulan tersebut tidak pernah dijalankan oleh Kementerian Perdagangan,” jelas Thomas.
Sementara itu ditempat terpisah, Akademisi Universitas Al- Azhar Indonesia Dr. Sadino, SH., MH., menyatakan, penerapan DMO dan DPO bukan hanya menyulitkan pengusaha sawit, namun juga merugikan petani kelapa sawit.
“Bayangkan berapa banyak TBS petani yang tidak terbeli pabrik kelapa sawit (PKS) akibat kebijakan DMO dan DPO. Banyak PKS tidak mau membeli TBS petani dengan alasan, penuhnya tangki timbun karena tidak adanya ekspor. Tentu ini sangat merugikan petani,” kata Sadino.
Selain itu, tambah Sadino, gonta-ganti kebijakan terkait DMO dan DPO tentu tidak menguntungkan bagi dunia usaha yang membutuhkan kepastian dalam berusaha.
“Perusahaan rugi, petani rugi, pendapatan negara berkurang dan merugikan perekonomian negara karena berkurangnya penerimaan devisa dan terhambatnya pertumbuhan ekonomi yang disebabkan oleh kebijakan yang keliru,” kata Sadino.
Menurut Sadino, seharusnya tidak boleh ada hambatan ekspor. Jika menyangkut pemenuhan kebutuhan di dalam negeri, pemerintah hanya perlu fokus supaya ketersediaan untuk kelompok masyarakat tertentu terjamin.Negara bisa menjamin ketersediaan minyak goreng untuk kelompok masyarakat tertentu, tanpa harus mengorbankan yang lain.