Batas Usia Putusan MK : Usia Minimal Capres-Cawapres 40 Tahun, atau Pernah Menduduki Jabatan yang Dipilih dari Pemilu/Pilkada
Potensi penyalahgunaan wewenang, terbajaknya sistem demokrasi, hingga ancaman suburnya politik dinasti dinilai oleh pengamat politik akan mewarnai jalannya Pilpres 2024, menyikapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang batas usia.
Penilaian itu muncul karena putusan MK terkait uji materi Pasal 169 huruf q Undang-Undang Pemilu memberi ruang bagi Gibran Rakabuming Raka menjadi calon wakil presiden (cawapres) saat bapaknya, Joko Widodo, masih menjabat dan berkuasa sebagai presiden pada waktu pemilihan, yaitu 14 Februari 2024.
Dalam putusannya, MK menyatakan seseorang yang di bawah usia 40 tahun bisa menjadi capres maupun cawapres asalkan sedang atau pernah menduduki jabatan negara yang dipilih melalui pemilu, termasuk pemilihan kepala daerah.
Gibran telah mengungkapkan bahwa Prabowo memintanya berkali-kali agar menjadi pendamping Menteri Pertahanan itu pada Pilpres 2024 mendatang.
Gibran yang kini berusia 36 tahun adalah putra pertama Presiden Jokowi yang kini menjabat sebagai Wali Kota Solo.
Lalu, siapakah yang diuntungkan maupun yang dirugikan dari putusan MK itu? Mengapa Gibran begitu menarik dan bagaimana peta politik Pemilu 2024 mendatang, serta akan kemana arah dukungan Jokowi?
Peneliti politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Firman Noor, mengatakan, pihak yang paling diuntungkan oleh putusan MK itu adalah Gibran Rakabuming Raka.
Firman menilai, putusan MK itu membuka pintu bagi Gibran untuk menjadi cawapres, terutama mendampingi Prabowo pada Pemilu 2024.
Pihak kedua yang diuntungkan adalah Prabowo Subianto karena akan mendapatkan dukungan penuh dari Jokowi yang masih menjabat sebagai presiden saat pemilihan pada 14 Februari mendatang.
“Gibran anak presiden yang sedang berkuasa, yang punya sumber-sumber kekuasaan yang berlimpah yang dapat digunakan,” ujar Firman.
Pihak terakhir adalah Jokowi, kata analis politik dari Voxpol Center Research & Consulting Pangi Syarwi Chaniago. “Jika Gibran menjadi cawapres bahkan terpilih menjadi wapres, maka estafet kekuasaan Jokowi terus berlanjut setelah dia tidak lagi menjadi presiden,” ujarnya.
Firman dari BRIN menegaskan, pihak yang paling dirugikan adalah masyarakat akibat terbajaknya sistem demokrasi Indonesia oleh dinasti politik.
Firman melihat ada upaya atau proses untuk menggolkan seseorang untuk dapat menjadi capres maupun cawapres dengan cara mengakali mekanisme demokrasi.
“Menjadi naif kalau ini [putusan MK] tidak dikaitkan dengan proses untuk mengegolkan seseorang. Karena ini satu tarikan nafas sebagai upaya dalam rangka pencapresan. Akhirnya ada nuansa kehidupan demokrasi kita semakin terbajak. Sudah terbajak sama oligarki, sekarang terbajak dengan dinasti politik,” ujar Firman.
Politik dinasti menurut Firman adalah proses konsensi kekuasaan yang tidak didasarkan pada kapabilitas (merit system), melainkan pada hubungan darah atau kekeluargaan. Dampaknya, kontestasi demokrasi menjadi tidak objektif dan adil.
“Jokowi, nanti lanjut anaknya jadi wapres, nanti berikutnya jadi presiden, berkutat di situ saja, dan saya yakin Indonesia tidak maju-maju kalau begitu,” kata Firman.
Senada, Pangi dari Voxpol Center melihat putusan MK yang memuluskan peluang Gibran menjadi cawapres itu akan semakin menyuburkan dinasti politik.
“Kalau presiden mengizinkan anaknya besar kemungkinan terjadi penyalahgunaan wewenang [abuse of power] karena Jokowi masih presiden saat pemilihan,” ujarnya.
Mahasiswa Universitas Surakarta (UNSA), Almas Tsaqibbirru adalah pihak yang mengajukan gugatan terhadap pasal 169 huruf q Pemilu.
MK mengabulkan gugatan Almas sehingga kemudian berbunyi “berusia paling rendah paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pilkada”.
Saat dihubungi, Almas mengatakan alasan mengajukan gugatan ke MK karena ingin menguji materi kuliah yang selama ini diperolehnya di bangku kuliah di Fakultas Hukum UNSA. Ia merupakan mahasiswa hukum angkatan 2019.
“Lebih ke saya kan sudah semester terakhir sudah mau wisuda. Saya ingin menguji ilmu yang telah saya dapat,” kata Almas kepada wartawan di Solo Fajar Sodiq yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Senin malam (16/10).
Selain itu, Almas mengaku prihatin dengan pemilu saat ini karena potensi-potensi anak muda yang berusia di bawah 40 tahun terhalang regulasi untuk maju sebagai capres dan cawapres.
“Banyak yang berpotensi cuma enggak bisa, enggak ada pintu masuk untuk ke sana [maju capres dan cawapres]. Itu jadi salah satu alasan saya juga,” ujar Almas yang kini berusia 23 tahun.
Almas menegaskan bahwa gugatan ke MK bukan merupakan titipan dari pihak manapun. Bahkan, dia mengaku tidak kenal Gibran.
“Saya sama sekali nggak kenal dengan Mas Gibran. Saya ketemu juga tidak pernah . Kalau ditanya Mas Gibran tahu saya, enggak mungkin tahu lah. Meskipun sama orang-orang Solo kan kecil,” ujarnya.
Dalam berkas permohonan gugatan uji materi kepada MK, Almas menyebut dirinya sebagai pengagum Gibran Rakabuming Raka.