Kenapa Akhir-akhir ini, Daya Beli Masyarakat Indonesia Semakin Menurun ?
Daya beli masyarakat, khususnya kelompok menengah, menurun. Hal ini sebagaimana ditunjukkan oleh data Survei Konsumen yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia (BI).
Penurunan terdalam dicatatkan oleh kelompok pengeluaran Rp2,1 juta-Rp3 juta, diikuti kelompok pengeluaran Rp4,1 juta-Rp5 juta. Bahkan, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat harus merelakan tabungannya.
Direktur Utama PT Bank Central Asia Tbk (BCA) Jahja Setiaatmadja sempat mengungkapkan biang kerok menurunnya daya beli masyarakat. Menurutnya, penurunan daya beli masyarakat terjadi karena tiga sebab.
Pertama, maraknya judi online (judol). Ia mengatakan judol membuat masyarakat kehilangan banyak uang.
“Orang sudah hopeless, judol. Bahkan bank dibawa-bawa. Cara judol ada e-wallet, ada tunai banyak sekali tidak ter-detect. Ini menggerogoti daya beli masyarakat,” katanya dalam acara BCA UKM Fest di Mal Kota Kasablanka, Rabu (7/8).
Kedua, berkurangnya diskon yang ditawarkan belanja online. Jahja menuturkan dalam beberapa tahun lalu, platform belanja online menawarkan banyak diskon kepada masyarakat.
Hal itu menurutnya membuat belanja masyarakat bergairah. Fenomena tersebut pun dikenal sebagai bakar uang dari pelaku platform belanja online.
“Ini masuk dan bakar duit, tahun 2022 dibakar Rp80 triliun yang menikmati middle class, tapi banyak lower class dapat income, ada daya beli subsidi indirectly,” tutur Jahja.
Namun, saat ini diskon tersebut sudah mulai berkurang. Imbasnya, masyarakat harus berbelanja online dengan biaya lebih tinggi. Karenanya, daya beli pun menurun.
Ketiga, berkurangnya jumlah pinjaman online (pinjol) ilegal. Jahja menuturkan pada saat covid-19 melanda, keberadaan pinjol ilegal marak di Indonesia.
Oleh karena itu, banyak masyarakat yang meminjam uang. Jahja mencontohkan ada satu orang yang bisa meminjam dana pada 20 pinjol sekaligus.
Hal itu terjadi karena ia gali lobang tutup lobang. Dengan kata lain, saat ia tidak bisa membayar utang di satu pinjol, ia akan meminjam ke pinjol lain untuk membayar tagihan.
Di sisi lain, ini memang merugikan masyarakat. Kendati, secara tidak langsung daya beli menjadi cukup kuat.
Dalam kesempatan lain, Asosiasi Pengusaha Pusat Belanja Indonesia (APPBI) mengatakan daya beli kelas menengah menurun terlihat dari pola belanja yang lebih memilih barang dengan harga terjangkau.
“Dari tren belanjanya udah kelihatan. Sekarang kita melihat uang yang dipegang kelas menengah makin kecil. Makanya kenapa toko seperti Miniso, KKV, DIY, kan penjualannya luar biasa karena mereka jualnya per item harganya lebih kecil,” kata Ketua DPP APPBI Alphonzus Wijaja di PIK Avenue, Jakarta Utara, Kamis (8/8).
Ia mengatakan kelas menengah memang masih tetap belanja, tetapi melirik produk yang harganya lebih murah. Sementara produk yang mahal mulai ditinggalkan karena jumlah uang yang menipis.
Karena itu, katanya, peritel harus mengatur strategi menghadapi pelemahan daya beli kelas menengah bawah. Ia mengatakan peritel sebaiknya tidak menjual produk harganya terlalu mahal sehingga sulit dijangkau kelas menengah bawah.
Ekonom Senior INDEF Didik J Rachbini mengatakan daya beli masyarakat turun, terutama kelas menengah, tercermin dari deflasi yang terjadi di Indonesia selama tiga bulan berturut-turut.
Menurut Didik, deflasi kedengarannya menguntungkan bagi konsumen karena harga yang lebih rendah. Tetapi ini bisa menjadi alarm tanda bahaya bagi perekonomian.
“Deflasi kedengarannya menguntungkan bagi konsumen karena harga yang lebih rendah, tetapi ini merupakan fenomena makro ekonomi di mana ekonomi masyarakat sedang tidak berdaya untuk membeli barang-barang kebutuhannya,” ujar Didik dalam keterangan, Jumat (2/8).