Bagaimana Kinerja Fiskal Setelah Purbaya Tempatkan Rp 200 Triliun Dana Negara ke Bank BUMN
Dosen dan peneliti Universits Islam Indonesia (UII), Yogyakarta, Listya Endang Artiani membedah APBN 2025, terutama menyangkut kinerja fiskal Indonesia. Realisasi pendapatan negara turun, belanja tetap ekspansif – defisit Rp 321,6 T atau 1,35 persen produk domestik bruto (PDB)
Kombinasi antara penerimaan yang melemah dan belanja yang tetap ekspansif menghasilkan defisit anggaran sebesar Rp 321,6 triliun, atau setara 1,35 persen terhadap PDB. “Angka ini secara nominal meningkat hampir dua kali lipat dibanding defisit pada periode sama tahun 2024 yang hanya Rp 153,4 triliun. Meski demikian, bila dilihat dari rasio terhadap PDB, defisit masih berada jauh di bawah batas 3 persen yang diatur dalam Undang-Undang Keuangan Negara,” kata Listya Endang dalam keterangan tertulis yang diterima Tempo, pada Rabu, 24 September 2025.
“Keseimbangan primer yang biasanya negatif mencatatkan surplus tipis Rp 22 triliun, menunjukkan bahwa pemerintah masih relatif disiplin dalam menjaga rasio belanja terhadap pendapatan,” kata Listya yang juga pengurus Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Cabang Yogyakarta.
Menurutnya, capaian ini perlu dibaca hati-hati. “Pertama, defisit yang tampak terkendali lebih merupakan hasil dari strategi pembiayaan kreatif dan penempatan kas negara pada perbankan untuk menopang likuiditas ekonomi. Hingga pertengahan September 2025, pemerintah menempatkan Rp 200 triliun dana negara pada bank umum dengan bunga rendah sebagai instrumen dorongan pertumbuhan,” kata dosen di Fakultas Bisnis dan Ekonomika UII, Yogyakarta, itu.
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menjelaskan aturan main dalam penempatan kas negara ke perbankan sebesar Rp 200 triliun di bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Uang yang sebelumnya mengendap di Bank Indonesia ini dipindahkan ke lima bank hingga batas waktu yang tak ditentukan. “Enggak ada term ya sebetulnya. Biarkan saya taruh di situ terus,” kata Purbaya dalam konferensi pers di Istana Kepresidenan dipantau melalui daring pada Senin, 15 September 2025.
Purbaya sekaligus mengklarifikasi terkait munculnya pernyataan yang menyebutkan, kalau pemerintah mematok jangka waktu selama enam bulan untuk pemindahan dana ini. Kata dia, tidak ada jangka waktu untuk penempatan kas negara itu, sebab pemerintah tidak wajib mengambil kas tersebut di kemudian hari.
Listya Endang menyatakan, secara teori, langkah ini mendekati logika loanable funds theory, di mana injeksi dana pemerintah ke perbankan memperluas ketersediaan likuiditas sehingga mendorong penyaluran kredit.
“Tetapi tanpa disiplin dan seleksi ketat, hal ini bisa menimbulkan risiko moral hazardbank lebih terdorong menyalurkan kredit ke sektor konsumtif atau spekulatif ketimbang produktif,” kata dia.
Kedua, menurutnya, struktur belanja menunjukkan bahwa APBN masih berperan dominan sebagai shock absorber sosial. Realisasi belanja perlindungan sosial, subsidi energi, dan kompensasi harga mencapai ratusan triliun rupiah. Subsidi energi saja menghabiskan Rp176,5 triliun, sementara belanja perlindungan sosial mencapai Rp 420,2 triliun.
“Dalam perspektif teori crowding-out effect, belanja rutin dan subsidi yang besar bisa mengurangi ruang untuk investasi publik yang produktif, seperti riset, inovasi, atau infrastruktur strategis. Dengan demikian, meski defisit terlihat terkendali, ruang fiskal sebenarnya semakin menyempit karena kualitas belanja lebih condong ke konsumsi jangka pendek daripada investasi jangka panjang,” kata Listya Endang.
Ketiga, pembiayaan defisit tetap membutuhkan pasar keuangan yang stabil. Untungnya, hingga September 2025, minat investor terhadap Surat Berharga Negara (SBN) masih tinggi dengan yield 10 tahun yang menurun ke kisaran 6,28 persen. Kondisi ini sejalan dengan teori portfolio balance, di mana investor global masih memandang Indonesia sebagai destinasi menarik karena imbal hasil yang relatif tinggi dan risiko yang masih moderat.
Menurutnya, ketergantungan pada pembiayaan utang melalui SBN membuat APBN tetap rentan terhadap dinamika global. Jika tren suku bunga di negara maju kembali naik atau terjadi gejolak geopolitik yang memicu capital outflow, maka pembiayaan defisit bisa menjadi semakin mahal, sekaligus mempersempit ruang fiskal di masa depan.
Menurut Listya, dengan demikian, kinerja fiskal Indonesia pada 2025 ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi, defisit yang relatif rendah menjadi sinyal disiplin fiskal dan keberhasilan menjaga stabilitas makro. Namun di sisi lain, struktur penerimaan yang melemah, ketergantungan pada komoditas, dan dominasi belanja subsidi menunjukkan bahwa risiko tersembunyi masih mengintai.
“Secara teoretis, APBN memang masih berfungsi sebagai jangkar stabilitas ekonomi sesuai pandangan Keynesian. Tetapi tanpa penguatan basis penerimaan dan perbaikan kualitas belanja, defisit bisa saja berubah dari sekadar instrumen stabilisasi menjadi jebakan fiskal jangka panjang,” katanya.