Ambang Batas Capres Kembali Digugat, Karena Dianggap Memanipulasi Hak Pemilih
Jakarta – Ketentuan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold 20 persen yang diatur UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum digugat lagi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Kali ini, gugatan diajukan dua pensiunan pegawai negeri sipil (PNS), seorang pensiunan lembaga survei, dan seorang wirasawasta.
Gugatan tersebut tercatat di laman MK dengan nomor perkara 42/PUU-XX/2022. Para pemohon gugatan menilai ketentuan presidential threshold memanipulasi hak konstitusional pemilih.
“Dalil uji konstitusional Pasal 222 a quo UU Nomor 7 2017, pertama, memanipulasi hak konstitusional pemilih,” kata salah satu pemohon, Santi Lisana, dalam sidang perkara yang disiarkan di akun Youtube MK, Kamis (14/4).
Santi dan tiga pemohon lainnya juga menganggap pasal tersebut membuat jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden menjadi terbatas. Menurut mereka, hal ini akan menjadi pintu masuk terciptanya oligarki.
“Membuka akses ke oligarki, siapa saja yang dapat dijadikan calon pasangan presiden,” ujarnya.
Ia menyebutkan, ketentuan presidential threshold merusak trilogi makna Pasal 6A Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung oleh rakyat.
Santi mengatakan, pasal 222 UU Pemilu 7/2017 merupakan pembodohan publik. Sebab, pasal tersebut menetapkan hasil pemilihan legislatif sebelumnya sebagai syarat bagi partai politik untuk mengusulkan calon presiden dan wakil presiden.
Menurut Santi, tidak semua masyarakat memahami atau mengetahui hasil pemilihan legislatif 2019 menjadi syarat bagi partai politik dalam mengusulkan calon presiden.
“(Pasal 222) melakukan pembodohan publik,” kata Santi.
“Dan di atas ke semua, publik belum paham atau mengetahui bahwa hasil Pileg 2019 akan digunakan sebagai persyaratan terpenting,” imbuhnya.
Santi mengamini keputusan MK menyatakan bahwa hanya partai politik yang memiliki legal standing menguji konstitusionalitas UU Pemilu. Namun, ia berpendapat permohonan dan kedudukan hukum pemohon yang diajukan oleh pemohon perorangan masih layak dipertimbangkan.
Adapun permohonan gugatan uji konstitusionalitas Pasal 222 UU Pemilu 7/2017 terakhir kali kandas di MK pada 24 Februari 2022. MK menyatakan tidak dapat menerima gugatan yang diajukan sejumlah perorangan warga negara, yang salah satunya adalah mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo.
Mahkamah menilai para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan tersebut.
Mahkamah menegaskan, yang bisa menguji aturan tersebut adalah partai politik atau gabungan partai politik. Selain itu, juga individu yang dapat membuktikan diri dicalonkan sebagai capres-cawapres atau individu bersama dengan partai politik pengusung capres-cawapres.