Garuda Media News

Media Informasi dan Edukasi Masyarakat

HUKUM NEWS NUSANTARA POLITIK SOSIAL

Jalan Panjang TAPERA : Dulu DPR Ngotot Mengesahkan RUU dan Sekarang Jadi Polemik !

Berbagi Informasi

Sebelum diatur dalam PP Nomor 21 Tahun 2024, wacana penyediaan rumah bagi masyarakat melalui skema Tapera sudah bergulir sejak 2013 ketika masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Dilansir dari Antara, Senin (11/3/2013), pada saat itu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ingin mengupayakan agar seluruh masyarakat mendapatkan rumah murah melalui Tapera. “Dengan adanya UU Tapera nanti, kepemilikan rumah bagi rakyat yang tingkat ekonominya menengah ke bawah bisa memiliki rumah melalui Tapera,” ujar Bakri yang pada saat itu menduduki posisi sebagai anggota panitia khusus (pansus) RUU Tapera.

Dilansir dari Antara, Selasa (19/3/2013), Ketua Pansus RUU Tapera Yosep Umar Hadi menilai bahwa Tapera diharapkan menjadi terobosan bagi penyediaan perumahan rakyat dengan biaya murah. RUU tersebut, kata Yosep, merupakan inisiatif DPR yang merasa prihatin dengan rakyat yang semakin kesulitan memiliki tempat tinggal.

Menurutnya, pemerintah pada saat itu memandang urusan rumah sebagai urusan pribadi, padahal dari data DPR, sebanyak 15 juta kepala keluarga tidak memiliki rumah. Pada saat itu, DPR sudah berinisiatif untuk membentuk Badan Pengelola Perumahan Rakyat yang ditugaskan untuk mengelola dana guna penyediaan rumah.

Meski digulirkan oleh DPR, pembahasan RUU Tapera berjalan alot karena terjadi perbedaan pandangan dengan pemerintah. Hal tersebut meliputi penyertaan modal untuk pendirian badan pengelola serta kewajiban orang kaya menabung tapi tak mendapat rumah. “RUU Tapera ini diperlukan sebagai terobosan untuk mengerahkan dana yang besar guna memenuhi kebutuhan perumahan rakyat,” ujarnya dikutip dari Antara, Selasa (7/5/2013).

Masalah Tapera Ketika RUU Tapera digulirkan pada 2013, Menteri Perumahan Rakyat Djan Faridz mengatakan, ada masalah yang dihadapi pihaknya ketika menggodok rencana aturan ini. Merujuk pemberitaan Antara, Jumat (7/6/2013), masalah itu mencakup sifat kepesertaan dalam Tapera, besaran iuran dan pemanfaatan dana Tapera, kontribusi pemberi kerja, badan pengelola Tapera, sistem pengelolaan dana Tapera oleh badan pengelola, penyidikan, dan sanksi.

Ia mengatakan, masalah dalam pembahasan RUU Tapera sudah dibahas dengan Menteri Perekonomian Hatta Rajasa. Hal yang dibahas seperti mengenai pemerintah hanya bisa mengatur pemotongan uang yang berkaitan dengan anggaran yang dibiayai APBN dan APBD serta gaji dari BUMN berdasarkan peraturan pemerintah dan keputusan presiden.

Meski digulirkan oleh DPR, RUU Tapera dikeluarkan dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) pada 2014. Dilansir dari Kontan, Senin (29/9/2014), Yosep mengatakan bahwa pemerintah sudah mengajukan surat supaya pembahasan RUU tersebut dihentikan.

Ia mengatakan, gagalnya RUU Tapera disahkan menjadi UU disebabkan oleh belum adanya kesepakatan dengan pemerintah mengenai besaran tabungan wajib bagi peserta. “Kami menyesalkan penghentian ini dan menjadi sejarah buruk legislasi nasional. Pembahasan RUU Tapera telah menghabiskan anggaran yang cukup besar,” katanya.

Menteri Keuangan (Menkeu) Chatib Basri mengatakan, ia harus berhati-hati ketika membuat keputusan terhadap RUU Tapera. Prinsip kehati-hatian dikedepankan Chatib karena ia melihat dampak program ini terhadap beban fiskal di masa depan yang nantinya dijalankan oleh presiden baru, Joko Widodo.

Dilansir dari Warta Fiskal edisi 2016, ia mengatakan, Kemenkeu setuju bahwa harus ada program dari pemerintah supaya masyarakat berpendapatan rendah dapat memiliki akses terhadap rumah, namun skemanya harus win-win. Maksud win-win yang dikatakan Chatib adalah masyarakat berpendapatan rendah memperoleh akses rumah yang tidak memberatkan, namun di satu sisi tidak menimbulkan risiko fiskal yang tinggi dalam jangka panjang.

Saat itu, ada beberapa opsi kontribusi iuran yang menjadi kewajiban perusahaan (pemberi kerja) dan tenaga kerja. Chatib menjelaskan bahwa setelah Kemenkeu menghitung beban fiskalnya, ada jebakan ruang fiskal (fiscal space) dalam jangka panjang karena iuran dari pekerja dan pemberi kerja terlampau kecil. Bila RUU Tapera disahkan menjadi UU, maka hal ini akan sangat memberatkan pemerintahan Jokowi yang memiliki banyak program prioritas yang sudah dijanjikan kepada rakyat.

Dalam raker dengan DPR, Chatib secara tegas mengatakan agar pemerintah dan DPR jangan buru-buru mengesahkan RUU Tapera menjadi UU. Sebaiknya dilakukan kajian lagi yang lebih mendalam dan melakukan konsolidasi dengan program yang sama di BPJS.

 

Alotnya Pembahasan RUU Tapera 

Dilansir dari laman www.dpr.go.id, 2015. Mantan Ketua Pansus RUU Tapera Yoseph Umar Hadi mengatakan, RUU ini merupakan warisan dari DPR periode sebelumnya. Dalam periode 2009-2014 itu, RUU tidak dapat disahkan lantaran di internal pemerintah belum menyepakati mengenai persentase pembiayaan Tapera yang diwajibkan.

Ia berharap, dalam periode ini RUU dapat disahkan menjadi UU. Menurut politisi dari FPDIP itu, RUU tinggal sedikit lagi sah menjadi usul inisiatif DPR. Komisi V DPR telah melayangkan surat kepada Badan Legislasi (Baleg) DPR untuk segera mengharmonisasikan RUU ini. Menurutnya, Baleg menyambut baik surat tersebut.

“Akan dibawa ke paripurna, setuju atau tidak, akan ditentukan di paripurna jadi RUU inisiatif dewan. Kalau disetujui, akan dikirim ke presiden, lalu presiden keluarkan amanat presiden dan menunjuk menteri siapa yang akan bahas hal ini,” ujarnya.

Ia yakin, jika sah menjadi RUU inisiatif DPR maka pembahasan akan dilakukan lintas komisi dan kementerian. Alasannya, dalam RUU ini memuat hal yang kompleks seperti adanya penghimpunan dana masyarakat, pembangunan perumahan hingga menyangkut dengan ketenagakerjaan.

“Saya yakin akan melalui pansus, berkaitan dengan keuangan dan tenaga kerja, karena agak kompleks,” katanya.

Ia mengatakan terdapat beberapa poin penting yang masuk ke dalam substansi RUU. Misalnya, adanya kewajiban bagi pekerja untuk menabung dari sebagian penghasilannya.

Dilansir dari laman www.pks.id, 2015. Fraksi PKS DPR RI mengapresiasi berbagai pihak yang mendukung lahirnya Rancangan Undang-Undang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Hal ini dilandasi kondisi meningkatnya kebutuhan masyarakat atas rumah yang telah mencapai 15 juta unit. Sedangkan produksi rata-rata rumah formal kurang dari 200.000 unit/tahun berdasarkan data Perumnas maupun DPP Real Estate Indonesia (REI).

“Fraksi PKS memandang bahwa RUU Tapera memiliki arti penting dan strategis untuk membuka akses kepemilikan rumah bagi masyarakat, khususnya masyarakat berpenghasilan rendah,” kata Sekretaris Fraksi PKS DPR RI Abdul Hakim yang juga menjadi inisiator pembahasan RUU ini, melalui siaran persnya, Ahad (14/6).

 

UU Tapera Disahkan pada 2016

UU Tapera disahkan Setelah melalui perjalanan yang cukup panjang, RUU Tapera disahkan menjadi UU pada Selasa (23/2/2016). Diberitakan oleh Antara, pengesahan UU Tapera dihadiri oleh 318 anggota DPR dan seluruhnya memberikan dukungan terhadap aturan baru ini.

Pada saat itu, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono mengatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat. Ia menyampaikan, pembentukan UU Tapera merupakan hal yang tepat sebagai bentuk kehadiran negara dalam rangka pemenuhan kebutuhan tempat tinggal yang layak dan terjangkau bagi masyarakat.

Setelah UU Tapera disahkan, pemerintahan Jokowi memiliki pekerjaan rumah (PR) untuk menyelesaikan penyusunan peraturan perundang-undangan ke dalam pengaturan yang lebih teknis. Hal tersebut mencakup PP, Peraturan Presiden (Perpres), dan Peraturan Badan Pelaksana Tapera.

 

Pasca Pengesahan RUU Tapera

UU Tapera tuai kritik Setelah UU Tapera disahkan menjadi UU, gelombang protes terhadap aturan baru ini silih berganti datang dari berbagai pihak. Dilansir dari Kompas.com, Rabu (24/2/2016), pada saat itu beberapa pihak memprotes UU Tapera, antara lain Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia, termasuk Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

Empat tahun berselang, tepatnya pada Rabu (20/5/2020), Jokowi meneken PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tapera. PP Nomor 25 Tahun 2020 menjadi payung hukum penyelenggaraan pungutan iuran yang akan dijalankan oleh BP Tapera. Badan tersebut akan memungut sekaligus mengelola dana perumahan bagi PNS, prajurit TNI, Polri, pekerja di perusahaan BUMN, BUMN, termasuk swasta. PP Nomor 25 Tahun 2020 kemudian diubah melalui PP Nomor 21 Tahun 2024 yang di dalamnya menetapkan potongan sebesar 3 persen dari gaji pekerja dan pekerja mandiri.

LEAVE A RESPONSE

Your email address will not be published. Required fields are marked *